Setiap Sabtu, saya selalu basah kuyup karena hujan. Itu sudah seperti rutinitas yang tak terelakkan, yang selalu datang dengan cara yang sama: hujan turun, saya di tengah perjalanan pulang, dan saya basah.
Hari itu, seperti biasa, Sabtu sore saya dimulai dengan perjalanan pulang menggunakan kereta api. Setelah kuliah selesai, saya melangkah keluar dari kampus dengan rasa lega, meskipun di balik rasa lega itu saya tahu ada satu hal yang selalu terjadi di setiap Sabtu—hujan. Seperti sebuah ironi kecil, hujan selalu datang tepat saat saya akan pulang. Dan seperti biasa, saya sudah tahu harus menghadapi hujan yang pasti akan datang. Kuliah hari itu pun hanya seharian, dan begitu sudah waktunya, saya langsung bergegas menuju stasiun untuk naik kereta pulang. Tidak ada yang terlalu istimewa, hanya Sabtu biasa. Namun, seperti yang sudah saya tahu, di balik sabtu yang biasa ini, ada satu hal yang tak pernah berubah: hujan.
Setelah men’tap’ e - card, melewati peron kemudian saya menaiki kereta yang penuh sesak. Pemandangan di luar jendela sedikit buram, dengan gedung-gedung pencakar langit yang berlalu cepat, berpadu dengan langit yang mulai kelabu.
Dari stasiun kota, perjalanan kereta api ke stasiun dekat rumah saya memakan waktu sekitar satu jam. Selama itu, saya tidak bisa berhenti berpikir tentang satu hal: hujan yang selalu datang.
Kereta yang saya tumpangi sudah siap berangkat tepat waktu. Begitu saya duduk di kursi yang kosong, saya bisa merasakan sedikit kelegaan. Pemandangan luar jendela masih cerah, namun saya bisa merasakan udara lembap yang mulai menggantung di langit. Di dalam kereta, orang-orang duduk bahkan berdiri dengan tenang, beberapa sibuk dengan ponsel mereka, beberapa lainnya terlelap setelah seharian beraktivitas, beberapa lain lagi berbincang bersama teman yang bersebelahan. Di luar, kota mulai berlalu cepat, tetapi ada sesuatu di udara yang memberi saya firasat buruk. Saya sudah tahu, hujan pasti akan datang, dan kali ini petir juga akan ikut menyertainya.
Tidak lama setelah kereta bergerak, saya bisa melihat awan hitam mulai menggulung di langit, seolah-olah alam sedang bersiap untuk menunjukkan kekuatan penuh. Saya menarik napas dalam-dalam, dan tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari kejauhan. Petir? Belum, saya pikir. Tetapi setelah beberapa detik, suara itu semakin keras, dan tiba-tiba langit memuntahkan kilat yang menyambar-nyambar. Suara gemuruh petir datang dengan begitu mendalam, hampir seperti guntur yang hendak menggetarkan dunia. Saya merasakan getaran itu bersamaan dengan menutup mata agar tak terlihat sambaran kilat itu, meskipun saya berada di dalam kereta.
Dan begitu hujan turun, ia datang dengan kekuatan yang luar biasa. Bukan hanya sekadar gerimis, tetapi hujan lebat yang disertai dengan petir menyambar-nyambar di luar. Saya melihat ke luar jendela, menyaksikan hujan yang turun begitu deras, menaburkan air ke kaca kereta hingga pandangan saya terbatas.
Seiring perjalanan, langit semakin gelap, dan kilat terus menyambar ke bumi, seolah beradu dengan suara petir yang menggelegar. Sebagian penumpang mulai resah, sementara yang lain hanya diam, terdiam oleh kekuatan alam yang tiba-tiba datang dengan ganas.
Saya menatap keluar, merasakan sesuatu yang aneh. Meski dalam kereta yang nyaman, dengan suara gemuruh petir yang menggetarkan, saya merasakan semacam keterhubungan dengan hujan. Ada kedamaian dalam kekacauan itu, dalam suara petir yang terus bergemuruh dan air hujan yang membasahi dunia di luar. Di dalam kereta yang hangat dan aman ini, saya tahu saya terlindung dari apa yang terjadi di luar sana. Tetapi ada sesuatu dalam diri saya yang tetap merasa terhubung dengan hujan dan petir itu—seperti ada sebuah kekuatan yang lebih besar dari sekadar perjalanan pulang ini.
Petir menyambar lagi, lebih terang dari sebelumnya. Lampu kereta berkelip sejenak, dan dalam sekejap, sebagian penumpang tampak cemas. Namun, saya tetap duduk dengan tenang sembari mengumandangkan doa salam maria berkali-kali, meskipun tubuh saya terasa sedikit tegang. Sesekali saya mendengar bisik-bisik dari beberapa penumpang yang mulai khawatir. Tetapi saya tidak bisa menahan diri untuk tidak menikmati momen itu. Hujan yang terus turun, gemuruh petir yang semakin hebat, semua itu seolah membangkitkan perasaan campur aduk—antara rasa takut dan rasa kagum pada kekuatan alam yang begitu besar.
Kereta melaju dengan tenang meskipun dunia di luar tampak kacau. Saya menoleh ke sekitar, melihat orang-orang yang mulai tampak gelisah, mungkin karena kereta mulai melambat sedikit. Lalu, tiba-tiba suara pengumuman terdengar, memberitahukan bahwa ada gangguan di jalur yang menyebabkan keterlambatan perjalanan. Tidak heran, dengan cuaca seperti ini—hujan deras disertai petir—mungkin jalur kereta menjadi licin atau terganggu.
Saya menyandarkan kepala di jendela, menatap hujan yang terus menumbuk kaca kereta, berusaha melupakan kekhawatiran yang muncul di sekitar saya. Petir kembali menyambar, kali ini lebih dekat, membuat seluruh kereta bergetar sejenak.
Saya memejamkan mata sejenak, mencoba meresapi momen itu. Hujan dan petir datang dengan cara yang sama setiap kali—mungkin itu cara alam mengingatkan kita bahwa dalam hidup, ada hal-hal yang tak bisa kita kendalikan.
Meskipun cuaca di luar sangat buruk, saya merasa seperti berada dalam ruang aman. Hujan yang menderu, petir yang menyambar, semuanya terasa begitu jauh meskipun saya tahu saya berada tepat di tengah-tengahnya. Ada kedamaian dalam kekacauan itu. Saya merasa seperti diizinkan untuk merasakan sesuatu yang lebih dalam—perasaan yang muncul hanya ketika kita benar-benar terhubung dengan alam, dengan kekuatan yang lebih besar dari diri kita.
Kereta akhirnya melaju kembali dengan lancar setelah beberapa menit, dan meskipun petir masih terdengar di kejauhan dan kemudian hujanpun mulai reda terbawa suara petir itu. Saya tahu perjalanan ini akan segera berakhir.
Puji Tuhan, ada harapan bahwa meneruskan perjalanan nantinya ada rasa lega karena tiada turunnya hujan, Lampu kereta kembali stabil, dan suara mesin yang melaju membawa saya lebih dekat ke rumah. Saya masih duduk dengan tenang, menatap langit yang mulai sedikit terang, dengan suara gemuruh petir yang semakin jauh.
Ketika kereta akhirnya berhenti di stasiun tujuan, saya merasa seolah-olah saya baru saja menjalani sebuah perjalanan batin yang panjang. Perjalanan dari kampus, lewat hujan, petir, dan segala kebisingan dunia luar. Saya tahu, meskipun saya baru saja menuntaskan perjalanan ini, hujan dan petir akan terus menjadi bagian dari Sabtu saya, bagian dari perjalanan yang tak terhindarkan, dan mungkin, bagian dari diri saya yang selalu mencari kedamaian dalam setiap cuaca yang datang.
Saya turun dari kereta, menyusuri peron yang masih basah oleh hujan, dan saat hendak melangkah keluar, saya mendengar kembali suara petir terakhir yang menyambar di kejauhan. Mungkin, petir itu adalah cara alam untuk mengingatkan saya bahwa meskipun perjalanan saya sudah selesai, hidup ini selalu penuh dengan hal-hal tak terduga yang datang begitu cepat dan pergi begitu saja, meninggalkan kenangan dan perasaan yang tak mudah dilupakan.
Perasaan lega rupanya hanya sebentar sebab setiap kali saya turun dari kereta, cuaca di luar stasium sudah kembali mulai berubah. Langit yang tadi kelabu kini tampak lebih gelap, awan tebal menutupi sinar matahari yang sempat muncul semakin menjauh. Begitu saya melangkah keluar dari stasiun, biasanya saya langsung membuka aplikasi ojek online. Begitu datang, saya langsung naik, berharap bisa sampai rumah secepat mungkin.
Namun, entah kenapa, setiap kali perjalanan saya dimulai, hujan pasti datang. Tak pernah meleset. Tetes pertama jatuh ke wajah saya ketika saya baru saja melangkah keluar dari stasiun. Saya pikir itu hanya hujan ringan, hanya gerimis yang akan reda dalam beberapa menit. Tapi tidak. Hujan itu tidak kenal kompromi, dan seiring dengan perjalanan ojek yang semakin jauh, hujan semakin deras.
Berkendara di atas ojek motor, saya duduk di belakang pengemudi, merasakan angin sore yang semakin dingin dan air hujan yang mulai membasahi pakaian saya. Payung? Tidak. Memang Saya membawa payung namun mustahil bila saya memakai payung bersamaan dengan berkendara motor.
Setiap tetes hujan yang menyentuh wajah saya seakan mengingatkan saya bahwa hujan adalah bagian dari cerita Sabtu saya. Saya bisa melihat jalanan yang mulai tergenang air, kendaraan yang melaju perlahan karena hujan yang semakin lebat, dan orang-orang yang mulai mencari tempat berteduh. Dalam beberapa detik, saya dan pengemudi ojek kami sudah terperangkap dalam hujan yang begitu deras. Di tengah perjalanan pulang yang biasanya santai, semuanya menjadi basah kuyup.
Tak lama, sepatu saya mulai terendam air, dan celana panjang saya semakin basah. Sialnya, saya harus tetap bertahan dalam perjalanan itu—meskipun sudah tahu bahwa tak lama lagi, saya akan sampai di rumah dengan pakaian yang lengket, rambut yang basah, dan tubuh yang kedinginan.
Di sepanjang perjalanan, saya hanya bisa berharap bahwa perjalanan ini cepat selesai. Tapi, di balik semua rasa tidak nyaman itu, ada satu hal yang selalu membuat saya tersenyum. Hujan.
Saya merasa, meskipun basah kuyup, ada kedamaian tertentu yang hanya bisa saya temukan ketika hujan turun. Hujan datang dengan segala ketidakpastian, tanpa memberi tahu kapan ia akan datang atau berapa lama ia akan turun, tetapi tetap saja, saya merasa ada semacam kedekatan antara saya dan hujan. Seperti hujan tahu betul bahwa saya selalu pulang pada Sabtu sore, dan ia tahu betul bahwa saya tak akan bisa menghindarinya.serasa saya dan hujan yang selalu merindukan pertemuan yang romantis.
Setibanya di depan rumah, saya turun dari ojek dengan rasa lelah yang sudah tidak bisa dibendung. Udara sore menjelang malam yang dingin mengalir ke tubuh saya yang basah. Namun, ada sesuatu yang menenangkan di dalam diri saya. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Hujan ini, meskipun datang dengan kebasahan yang tak terhindarkan, selalu memberi saya kesempatan untuk berhenti sejenak.
Namun, ada satu hal yang selalu saya sadari. Meski terkadang hujan itu datang begitu mendalam, begitu deras, tetap saja ia akan berhenti pada waktunya. Begitu juga dengan perasaan saya—tapi, mungkin saya hanya butuh lebih banyak waktu untuk menyadari bahwa hujan, seperti perasaan-perasaan saya, adalah bagian dari perjalanan yang tidak bisa dipaksakan.
Emilia_sfs