Pandangan Budaya Timor tentang Yesus
Doktrin
Kristiani mengajarkan bhwa Kristus adalah Tuhan, dan tidak ada
keselamatan di luar Kristus. Jadi keselamatan dan hidup yang kekal
adalah semata-mata anugerah dari Allah dan jalan menuju ke sana hanya
ada di dalam Kristus (Yoh 14:6). Kemudian, muncullah pertanyaan;
bagaimana dengan mereka yang belum pernah sama sekali mengenal Allah
dalam Yesus Kristus? Apakah pada akhirnya mereka tidak bisa menikmati
keselamatan, walaupun mereka juga adalah ciptaan-Nya?
Sesungguhnya
Allah sengat mengasihi manusia ciptaanNya, dan Allah ingin manusia yang
berdosa sejak kejatuhan di Taman Eden bisa memiliki kembali kemuliaan
yang Allah sediakan (Yoh. 3:16). Allah melihat manusia semakin jauh dari
jalan keselamatan itu, sehingga ia harus datang sendiri ke dunia untuk
membawa umat-Nya kembali kepadaNya. Oleh karena itu, percaya kepada
Allah merupakan jalan keselamatan bagi orang-orang yang hidup sebelum
Allah menjelma ke dunia di dalam Yesus Kristus, yaitu orang-orang yang
belum mengenal Yesus. Predikat “orang yang belum mengenal Yesus“ juga
bisa disematkan kepada orang yang hidup sesudah Yesus, tapi belum pernah
sama sekali tahu segala sesuatu tentang Dia.
Yohanes
1:10 menyatakan kepada kita, bahwa Allah Sang Pencipta telah ada dan
eksis di dalam dunia, di kalangan orang orang yang tidak mengenalNya. Ia
telah ada dan berkarya untuk ciptaanNya lewat berbagai cara. Salah satu
karya Allah untuk kebaikan manusia dinyatakan di dalam kerangaka
berpikir, adat istiadat dan pola kepercayaan di dalam suatu budaya.
Budaya merupakan wahana komplek yang mencakup semua peradaban manusia,
hubungan manusia, baik dengan alam, sesama maupun Sang Pencipta.
Allah dan
sang Firman (ibr 1;2) sudah lebih dulu ada di dalam semua budaya, tidak
ada budaya yg berdiri di luar jangkauan pemeliharaan dan
pemerintahannya, sejahat dan seberdosa apapun budaya itu, pasti ada
tersimpan jejak dan sidik jari Allah di dalamnya.
Hal ini
juga berlaku bagi budaya2 yg ada di indonesia, Allah telah berada di
dalam budaya2 di indonesia, sehingga nilai2 dan paradigm budaya2 tsb
memiliki kandungan nilai2 religius yang tinggi, meskipun tak dapat
dipungkiri bahwa Allah yang dikenalbudaya2 saat itu tidak seperti yang kita ilhami saat ini, walaupun sebenarnya Subyektifitas Allah tetap sama.
Untuk
menyatakan keberadaan Allah dalam budaya mereka, masyarakat menempatkan
figur Allah di dalam budaya mereka dengan membuat perangkat2 budaya
tertentu sebagai representasi Allah dalam peradaban budaya tersebut.
Latar Belakang
Pulau
Timor adalah salah satu pulau di Nusantara yang berada di gugusan Nusa
Tenggara atau Sunda Kecil. Pulau ini merupakan salah satu pulau terluar
Republik kita, karena langsung berbatasan dengan laut maupun daratan
yang merupakan wilayah negara lain, yaitu Australia dan
Timor Leste. Pulau Timor membujur dari timur laut ke arah barat daya.
Secara koordinat, Pulau Timor terletak pada 123°BT -127°BT
dan 8°LU - 10°LU. Disebelah timur, Pulau Timor berbatasan dengan
Kepulauan Selatan Daya ( Maluku), Samudera Indonesia dan wilayah Timor
Leste, sebelah barat dengan Laut Sabu, Pulau Semau dan Pulau Rote,
sebelah Selatan dengan Samudera Indonesia dan sebelah Utara dengan Laut
Sawu serta Pulau Alor, Pulau Atauro (RDTL) dan pulau Wetar (Maluku).
Di Pulau
Timor secara keseluruhan terbagi menjadi 2 wilayah besar, yaitu Timor
bagian Barat yang merupakan bagian dari Propinsi NTT - yang mencakup
Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor tengah Selatan (TTS), Kabupaten Timor
Tengah Utara (TTU) dan Kabupaten Belu -, dan Timor bagian Timur yakni
sebuah negara merdeka yang terlepas dari Wilayah NKRI pada tahun 1999
dengan nama República Democràtiça de Timor-Leste (RDTL).
Terdapat
tiga suku di Pulau Timor, yaitu Suku Tetun di Wilayah Timor Leste serta
Belu, Suku Dawan di Kupang, TTS dan TTU, dan Suku Helong di bagian barat
wilayah Kabupaten Kupang. Suku Helong merupakan suku yang budayanya
banyak meresap dari masyarakan Pulau Semau yang telah lama datang dan
menetap di wilayah Kupang Barat. Sedangkan Suku Tetun lebih kental
dengan budaya Poertugis, karena sejak ratusan tahun yang lalu, wilayah
tetun merupakan jajahan Portugal hingga tahun 1975, sebelum bergabung
dengan RI dan akhirnya merdeka menjadi RDTL Suku dawan merupakan
satu-satunya suku yang mencerminkan budaya Timor yang sesungguhnya, oleh
karena itu, sebutan “Orang Timor” atau “masyarakat Timor”
dan lebih cenderung berkiblat pada Suku Dawan yang merupakan Suku
terbesar di Pulau Timor. Jadi, bisa disimpulkan bahwa Budaya Timor
adalah budaya Suku Dawan. Dalam Budaya Timor, bahasa yang di gunakan
adala bahasa Dawan atau bahasa Atoni Uab Meto. Adapun budaya dawan ini
terbentuk dari beberapa sub-suku antara lain; sub-suku Amanuban, Amanatun dan Mollo di TTS, sub-suku Miomafo, Biboki dan Insana di TTU) ,sub-suku Kopas, Timaus, Amfoang, Fatuleu, Sonba'i dan Nairasi di Kabupaten Kupang. Sejak
jaman dulu, sudah ada kerajaan-kerajaan di wilayah dawan, seperti
Amarasi, Amfoang, Fatuleu, Sonbai, Amanatun, Amanuban, Mollo, Insana dan
Biboki. Sebagian besar kerajaan di atas masih ada di dalam pemerintahan
adat hingga kini.
Pandangan Umum Tentang Allah
Masyarakat
dawan seperti masyarakat pada suku dan budaya lainnya, memiliki
kepercayaan terhadap Tuhan. Mereka menyapa Allah dengan Uis Neno, yang mereka sebut sebagai Alulut atau Amo’et (Pencipta), Apinat Aklahat (yang bersinar dan membakar), Manikin na Oetene (yang memberikan air dan kesejukan), Afatis Apakaet (yang memelihara), Afaot (yang menumbuhkan), danAfinit Amnanut (yang
bersemayam di tempat yang maha tinggi). Ini tercermin di dalam sistem
kepercayaan agama suku dawan yang diaplikasikan ke dalam norma adat
istiadat, hukum adat hingga berbagai ritual. Di kalangan orang Timor,
ada hitungan dari 1 sampai 7, dimana yang ke-7 adalah Uis Neno. (bdg.
Kej. 2:2-3, Kel 34:21).
Kepercayaan Orang Timor tentang Buaya
Buaya
adalah salah satu Reptil yang telah dikenal luas di Indonesia. Mungkin
masyarakat Indonesia pada umumnya lebih cenderung menempatkan buaya
dalam arti negatif. Buaya sering menjadi representasi dari
hal yang buruk, seperti rakus, angkuh, picik, dan sebagainya. Ini dapat
kita lihat dalam istilah bahasa indonesia yaitu “buaya darat”, “buaya
lapar”, dan lain sebainya.
Namun,
bagi orang Timor, penilaian akan hal ini sangatlah bertolak belakang
dengan sistem kepercayaan orang timor. Orang timor menempatkan buaya
sebagai simbol yang sangat istimewa, suatu lambang yang sangat
dikeramatkan dan disembah.
Sebagai
bentuk penghormatan terhadap buaya, orang timor menaruh simbol dari
figur buaya ini ke dalam ornamen dan perangkat budaya orang timor.
Simbol buaya terdapat pada anyaman daun lontar pada hiasan di dinding
atau gerbang, tempat sirih-pinang (oko mama), tempat tembakau dan kapur
(tiba’), pada motif tenunan, pada motif ukiran di kayu atau pahatan di
batu, bahkan pada gambar tubuh atau tato.
Buaya
sangatlah istimewa bagi orang timor, karena menurut mereka, buaya adalah
representasi dari sosok yang menjadi penyelamat, pemberi dan penopang
kehidupan, bagi orang timor. Buaya dianggap sebagai
pengasa lautan, sungai, penyedia kesejukan, pemberi hujan untuk
kesuburan dan kesejahteraan, singkatnya Buaya adlah penguasa air.
Karena
topografi ulau timor yang kering dan gersang ( pah meto), air menjadi
kebutuhan hayati yang sangat hakiki dan sangat diperlukan dan dihapakan. Air
menentukan hidup atau mati, kemakmuran atau kemelaratan. Oleh sebab
itu, penyembahan terhadap buaya adalah sebuah keharusan apabila orang
timor menginginkan kemakmuran, kesejahteraan dan kekayaan.
Buaya
dianggap sebagai pemberi kerbau, sapi, kambing, ayam dan tenak laiinya
bagi orang timor, jadi dalam ritus agama suku dawan, buaya sering
diberikan persembahan berupa kerbau, sapi, kambing, ayam dan binatang
peliharaan lainnya sebagai bentuk ucapan syukur dan tanda penghormatan
orang timor kepada sang penopang hidup.
Buaya
tidak hanya menjadi penopang bagi orang timor. Ia bahkan memberi
hidupnya sendiri untuk kelangsungan hidup orang timor. Keyakinan ini
tercermin di dalam mitologi yang tertanam pada orang timor. Ada mitos
orang timor yang menceritakan tentang asal-muasal terbentuknya pulau
timor. Pulau timor dipercaya sebagai jelmaan dari seekor buaya.
Diceritakan, ada seekor anak buaya sedang sekarat di suatu tempat yang
jauh dari laut. Kemudian datanglah seorang anak manusia menghampiri anak
buaya itu, anak kecil itu merasa kasihan kepada anak buaya itu, lalu
dibawanya anak buaya itu ke pantai. Ketika anak buaya itu masuk ke laut,
sekonyong-konyong naiklah air hingga menutupi daratan.
Melihat hidup anak itu terancam, sang buaya kemudian menaikan anak itu
ke punggungnya dan berjanji akan melindungi anak itu dari segala
ancaman. Waktu berlalu, sang buaya menjadi semakin tua dan lelah karena
terlalu banyak beban di pundaknya oleh anak manusia tang telah berkebang
biak. Hingga saat hampir tiba ajalnya, sang buaya membiarkan anak
itu dan keturunannya tetap hidup di atas punggungnya, karena tidak ada
daratan bagi mereka. Pesan dari sang buaya, anak manusia dan
keturunannya itu boleh menikmati segala sesuatu yang ada di atas
punggungnya dan segala sesuatu yang keluar dari tubuhnya. Buaya itu pun
mati dan berubah menjadi daratan yang kemudian dinamakan Timor.
Karena
mitos asal mula pulau timor dan praktek penyembahan orang timor terhadap
sosok buaya ini, figur buaya muncul dengan sangat menonjol di kalangan
orang timor dalam karya budaya orang timor sebagai bentuk ungkapan
syukur orang timor.
Di dalam benak budayanya, orang timor memiliki cerita yang tersimpan indah tentang Sang Buaya. Mereka mengenal Sang Buaya lewat
mitologi dan kepercayaan agama suku mereka sebagai penopang kehidupan,
air hidup yang membawa kesejukkan, dan sosok yang merelakan hidupnya
demi kelangsungan hidup orang timor. Sang buaya yang mau mati supaya
orang timor yang seharusnya mati tetap hidup.
Yesus dalam Sosok Buaya
Seperti
halnya figur buaya di kalangan orang timor, Yesus juga rela memberi
hidupnya demi keselamatan manusia. Ia yang adalah Tuhan, mau datang ke
dunia, merasakan kesengsaraan hidup manusia yang berdosa, bahkan rela
memberi hidupnya supaya manusia tidak binasa melainkan beroleh hidup
yang kekal.
Bentuk
kepercayaan terhadap Sang Buaya ini merupakan salah satu bentuk
penyataan diri dari Allah sendiri kepada orang timor dalam budaya timor.
Yesus yang di kitab suci di lambangkan dengan Anak domba Allah, di
alihwujudkan oleh Allah kepada orang timor dalam sosok Sang Buaya.
Memang
agak janggal untuk menyebut Kristus sebagai “ Buaya Kehidupan”, namun
apakah kita tidak boleh memberitakan tentang Kristus lewat budaya lokal
setempat? Injil akan lebih mudah masuk ke dalam budaya bila Injil itu
memperkenalkan diri sebagai budaya itu sendiri, bukan sebagai
representasi dari budaya tempat lahirnya injil itu. Karena, di dalam
budaya lokal, Allah telah menempatkan penyataan diriNya, meskipun dalam
figur yang lain dan tidak lazim. Kita tentu percaya, bahwa Allah bekerja
dengan caraNya sendiri, dengan cara yang misterius. Jadi tidak ada cara
yang mustahil bagi Allah, dan kita tidak bisa menyangkali itu. Pada
akhirnya iman kita jugalah yang akan menjawab semua pertanyaan tentang
pemahaman dan pengenalan kita terhadap Allah dalam Kristus Yesus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar