Di
Balik Fajar
Suatu sore ketika saya jalan-jalan di halaman
parkir biara, saya melihat seorang ibu muda memangku seorang anak kecil,
mungkin sekitar empat tahun usianya. Ia duduk di bangku semen di bawah pohon
beringin. Kudekati ibu itu, tampak matanya sembab karena menangis, wajahnya
cukup manis tetapi betapa kuyu dan nampak sangat kelelahan. Aku bertanya
kepadanya.
“Maaf Suster, saya dari Jakarta.
Datang ke sini untuk mencari suami saya, karena anak kami ini sakit, dan saya
sudah tidak punya uang untuk mengobatkannya.”
“Lalu apakah Ibu sudah ketemu dengan
suami Ibu?”
“Sudah Suster, tapi suami saya
memang sudah punya istri muda, saya tidak diterima, malahan kami diusir. Maka
saya duduk di sini untuk melepas lelah dan mencari pertolongan, bagaimana
caranya saya bisa pulang ke Jakarta?”
“Oh …, kasihan betul anak ini,”
kataku sambil mengelus kepalanya. “Siapa namanya Bu?”
“Namanya Fajar Suster, tapi nasibnya
tak seindah namanya.” Sementara itu kulihat bapak-bapak dan ibu-ibu yang sedang
mengadakan retret di Rumah Retret kami, berjalan keluar dari areal Rumah
Retret, rupanya mau ke gereja untuk mengikuti Misa Sabtu sore. Sampai di bawah
beringin mereka berhenti dan ikut bertanya-tanya tentang keadaan Si Ibu Muda
dan anaknya.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita
iuran untuk sewa ambulans, biar Ibu dan Fajar bisa pulang ke Jakarta dengan
selamat. Rumah Sakit kan hanya di sebelah ini,” kata seorang bapak. Lalu saya
dengar bisik-bisik seorang ibu.
“Sekalian sedikit uang untuk sekedar
uang saku.”
“Ya baiklah begitu, coba kalau kita
yang mendapatkan musibah seperti Ibu ini.”
“Atau mau dibawa ke Rumah Sakit dulu
Bu? Biar mendapatkan pertolongan pertama. Nanti pengobatan bisa dilanjutkan di
Jakarta,” ada lagi usulan dari seorang ibu yang baik hati.
“Terima kasih Bu, biar saya langsung
pulang ke Jakarta saja. Tapi saya ingin naik taksi saja Suster, tidak usah
ambulans,” ibunya Si Fajar menyatakan
keinginannya.
“Kalau itu yang lebih baik menurut
Ibu, silahkan saja. Mari bapak-bapak, ibu-ibu, siapa yang mau memberi dana
sukarela, kita titipkan ke Suster saja biar dicarikan mobil.” Uang yang terkumpul diserahkan ke saya, dan
mereka segera keluar dari pintu gerbang biara karena takut terlambat Misa. Aku
hitung uangnya, ada satu juta lebih, mudah-mudahan cukup untuk menyewa mobil
dan sedikit uang saku untuk Si Ibu. Aku berjalan ke Pos Satpam, biarlah Pak
Satpam mencarikan mobil sewaan, biasanya di sekitar Rumah Sakit itu ada
mobil-mobil parkir mencari penumpang. Aku duduk saja di Pos jaga sambil
menunggu Pak Satpam mencari mobil.
Syukurlah tak lama kemudian ada
mobil masuk halaman biara. Mobil berhenti di depan Pos jaga. Pak Satpam dan Pak
Sopir keluar bersamaan.
“Bagaimana Pak? Apa mobil ini yang
sanggup mengantar Si Ibu dan anaknya itu pulang ke Jakarta?” Tanyaku kepada Pak
Satpam.
“Ya Suster, benar.”
“Berapa biayanya?”
“Satu juta.” Aku memberi isyarat
supaya Pak Satpam masuk ke Pos jaga dan kemudian aku berbisik kepadanya.
“Bisa dipercaya Sopir itu Pak?”
“O …, bisa Suster. Dia itu tetangga
saya, malahan masih famili
juga.”
Kami melambaikan tangan ketika mobil
sewaan itu keluar dari gerbang biara membawa ibu anak itu menuju Jakarta. Dalam
hati aku merasa lega. Syukurlah bapak-bapak dan ibu-ibu yang retret itu baik
hati dan punya ide untuk menolong sesama dalam kesulitan. Aku sendiri tadinya
mulai bingung, bagaimana caranya untuk menolong Fajar dan ibunya. Paling-paling
aku hanya bisa memberitahukan hal tersebut kepada pimpinanku di Komunitas.
***
Pagi itu aku sudah bersiap di
halaman parkir biara untuk menunggu angkot yang biasa menjemput kami, untuk
mengantar ke gereja. Para suster lain belum datang, baru saya sendiri saja.
Saya lihat Pak Satpam berjalan cepat-cepat ke arah saya.
“Wah Suster …, Ibu yang kemarin sore
itu ternyata hanya penipu.”
“Maksud Bapak, hanya penipu? Tahu
dari mana?”
“Tadi malam hampir jam dua belas itu
saya dapat telepon dari Kepolisian. Dari Pak Samsudin yang biasa dimintai
tolong oleh para suster untuk jaga keamana kalau ada acara-acara besar di
biara. Jadi saya kan juga sudah kenal akrab dengan Pak Samsu itu.”
“Memang ada masalah apa Bapak
ditelepon oleh Pak Samsu?”
“Si Maman, sopir mobil tadi malam
itu ditahan polisi. Dia sudah menjelaskan duduk persoalannya, tetapi polisi
tidak percaya. Lalu dia memohon-mohon supaya Pak Polisi mau menghubungi Suster
di dekat Rumah Sakit yang sebenarnya memberikan pekerjaan kepadanya untuk
mengantar seorang ibu dan anaknya pulang ke Jakarta. Akhirnya Pak Samsu
menghubungi saya, supaya datang ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian,
apakah cerita Maman itu benar.”
“Kok …, jadi begitu sih Pak?”
“Ya saya langsung saja ke kantor
polisi, saya kan juga merasa ikut bertanggungjawab. Yang mencari mobil kan
saya, apalagi Maman itu masih keponakan saya juga.”
“Jadi bagaimana asal-usulnya sampai
berurusan dengan polisi? Terus nasib Fajar dan ibunya?”
“Tadi malam itu mobil belum berjalan
terlalu jauh. Si Ibu minta sopir menghentikan mobilnya karena katanya dia tidak
jadi pulang ke Jakarta. Dia mau bermalam dulu di rumah saudaranya, katanya. Karena
dia tahu bahwa ongkos ke Jakarta itu satu juta, dia minta sembilan ratus ribu
ke Maman. Yang seratus ribu katanya boleh untuk Maman. Tanpa harus mengantar
dia ke Jakarta. Tentu saja Maman tidak mau. Kalau tidak jadi ke Jakarta, Maman
mau mengembalikan uang itu ke Suster.
Tapi Ibu itu terus memaksa, bahkan
memaki-maki. Menurunkan tawarannya sampai lima ratus ribu. Jadi sama-sama,
katanya. Maman tetap tidak mau. Ibu itu memukul-mukul pintu mobil, bahkan
teriak-teriak. Sampai akhirnya Maman tidak tahan lagi. Mobil dihentikan, mereka
turun, entah bagaimana, tapi kata Si Maman sempat juga Ibu itu menjambret
dompet Maman. Dan Maman sempat menghantam tangan Si Ibu. Celakanya mereka itu
ternyata ribut-ribut di depan kantor polisi. Segera saja Maman digelandang ke
kantor polisi, tetapi Si Ibu sudah lenyap entah ke mana.”
“Kok bisa jadi begitu Pak ceritanya.”
“Ya itulah Suster, tapi Maman sudah
bisa dibebaskan. Karena Pak Samsu percaya ke saya. Kata Maman mungkin anak itu
hanya diberi obat tidur saja, sehingga ia memang tak bisa bangun.”
Fajar, malang betul nasibmu Nak.
Pastilah ibu itu bukan ibumu. Dan mungkin Fajar juga bukan namamu. Sudah berapa
kali kamu diperlakukan seperti itu? Diminumi obat tiidur untuk mendapatkan
uang. Apa yang akan terjadi pada dirimu kelak? Apa yang akan terjadi di balikmu
Fajar?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar