Selasa, 01 November 2016

Di Balik Fajar



Di Balik Fajar

                Suatu   sore ketika saya jalan-jalan di halaman parkir biara, saya melihat seorang ibu muda memangku seorang anak kecil, mungkin sekitar empat tahun usianya. Ia duduk di bangku semen di bawah pohon beringin. Kudekati ibu itu, tampak matanya sembab karena menangis, wajahnya cukup manis tetapi betapa kuyu dan nampak sangat kelelahan. Aku bertanya kepadanya.
            “Ibu dari mana? Kok duduk di sini menunggu siapa?”
            “Maaf Suster, saya dari Jakarta. Datang ke sini untuk mencari suami saya, karena anak kami ini sakit, dan saya sudah tidak punya uang untuk mengobatkannya.”
            “Lalu apakah Ibu sudah ketemu dengan suami Ibu?”
            “Sudah Suster, tapi suami saya memang sudah punya istri muda, saya tidak diterima, malahan kami diusir. Maka saya duduk di sini untuk melepas lelah dan mencari pertolongan, bagaimana caranya saya bisa pulang ke Jakarta?”
            “Oh …, kasihan betul anak ini,” kataku sambil mengelus kepalanya. “Siapa namanya Bu?”
            “Namanya Fajar Suster, tapi nasibnya tak seindah namanya.” Sementara itu kulihat bapak-bapak dan ibu-ibu yang sedang mengadakan retret di Rumah Retret kami, berjalan keluar dari areal Rumah Retret, rupanya mau ke gereja untuk mengikuti Misa Sabtu sore. Sampai di bawah beringin mereka berhenti dan ikut bertanya-tanya tentang keadaan Si Ibu Muda dan anaknya.
            “Kalau begitu, bagaimana kalau kita iuran untuk sewa ambulans, biar Ibu dan Fajar bisa pulang ke Jakarta dengan selamat. Rumah Sakit kan hanya di sebelah ini,” kata seorang bapak. Lalu saya dengar bisik-bisik seorang ibu.
            “Sekalian sedikit uang untuk sekedar uang saku.”
            “Ya baiklah begitu, coba kalau kita yang mendapatkan musibah seperti Ibu ini.”
            “Atau mau dibawa ke Rumah Sakit dulu Bu? Biar mendapatkan pertolongan pertama. Nanti pengobatan bisa dilanjutkan di Jakarta,” ada lagi usulan dari seorang ibu yang baik hati.
            “Terima kasih Bu, biar saya langsung pulang ke Jakarta saja. Tapi saya ingin naik taksi saja Suster, tidak usah ambulans,”  ibunya Si Fajar menyatakan keinginannya.
            “Kalau itu yang lebih baik menurut Ibu, silahkan saja. Mari bapak-bapak, ibu-ibu, siapa yang mau memberi dana sukarela, kita titipkan ke Suster saja biar dicarikan mobil.”  Uang yang terkumpul diserahkan ke saya, dan mereka segera keluar dari pintu gerbang biara karena takut terlambat Misa. Aku hitung uangnya, ada satu juta lebih, mudah-mudahan cukup untuk menyewa mobil dan sedikit uang saku untuk Si Ibu. Aku berjalan ke Pos Satpam, biarlah Pak Satpam mencarikan mobil sewaan, biasanya di sekitar Rumah Sakit itu ada mobil-mobil parkir mencari penumpang. Aku duduk saja di Pos jaga sambil menunggu Pak Satpam mencari mobil.
            Syukurlah tak lama kemudian ada mobil masuk halaman biara. Mobil berhenti di depan Pos jaga. Pak Satpam dan Pak Sopir keluar bersamaan.
            “Bagaimana Pak? Apa mobil ini yang sanggup mengantar Si Ibu dan anaknya itu pulang ke Jakarta?” Tanyaku kepada Pak Satpam.
            “Ya Suster, benar.”
            “Berapa biayanya?”
            “Satu juta.” Aku memberi isyarat supaya Pak Satpam masuk ke Pos jaga dan kemudian aku berbisik kepadanya.
            “Bisa dipercaya Sopir itu Pak?”
            “O …, bisa Suster. Dia itu tetangga saya, malahan masih famili
 juga.”
            Kami melambaikan tangan ketika mobil sewaan itu keluar dari gerbang biara membawa ibu anak itu menuju Jakarta. Dalam hati aku merasa lega. Syukurlah bapak-bapak dan ibu-ibu yang retret itu baik hati dan punya ide untuk menolong sesama dalam kesulitan. Aku sendiri tadinya mulai bingung, bagaimana caranya untuk menolong Fajar dan ibunya. Paling-paling aku hanya bisa memberitahukan hal tersebut kepada pimpinanku di Komunitas.
***
            Pagi itu aku sudah bersiap di halaman parkir biara untuk menunggu angkot yang biasa menjemput kami, untuk mengantar ke gereja. Para suster lain belum datang, baru saya sendiri saja. Saya lihat Pak Satpam berjalan cepat-cepat ke arah saya.
            “Wah Suster …, Ibu yang kemarin sore itu ternyata hanya penipu.”
            “Maksud Bapak, hanya penipu? Tahu dari mana?”
            “Tadi malam hampir jam dua belas itu saya dapat telepon dari Kepolisian. Dari Pak Samsudin yang biasa dimintai tolong oleh para suster untuk jaga keamana kalau ada acara-acara besar di biara. Jadi saya kan juga sudah kenal akrab dengan Pak Samsu itu.”
            “Memang ada masalah apa Bapak ditelepon oleh Pak Samsu?”
            “Si Maman, sopir mobil tadi malam itu ditahan polisi. Dia sudah menjelaskan duduk persoalannya, tetapi polisi tidak percaya. Lalu dia memohon-mohon supaya Pak Polisi mau menghubungi Suster di dekat Rumah Sakit yang sebenarnya memberikan pekerjaan kepadanya untuk mengantar seorang ibu dan anaknya pulang ke Jakarta. Akhirnya Pak Samsu menghubungi saya, supaya datang ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian, apakah cerita Maman itu benar.”
            “Kok …, jadi begitu sih Pak?”
            “Ya saya langsung saja ke kantor polisi, saya kan juga merasa ikut bertanggungjawab. Yang mencari mobil kan saya, apalagi Maman itu masih keponakan saya juga.”
            “Jadi bagaimana asal-usulnya sampai berurusan dengan polisi? Terus nasib Fajar dan ibunya?”
            “Tadi malam itu mobil belum berjalan terlalu jauh. Si Ibu minta sopir menghentikan mobilnya karena katanya dia tidak jadi pulang ke Jakarta. Dia mau bermalam dulu di rumah saudaranya, katanya. Karena dia tahu bahwa ongkos ke Jakarta itu satu juta, dia minta sembilan ratus ribu ke Maman. Yang seratus ribu katanya boleh untuk Maman. Tanpa harus mengantar dia ke Jakarta. Tentu saja Maman tidak mau. Kalau tidak jadi ke Jakarta, Maman mau mengembalikan uang itu ke Suster.
            Tapi Ibu itu terus memaksa, bahkan memaki-maki. Menurunkan tawarannya sampai lima ratus ribu. Jadi sama-sama, katanya. Maman tetap tidak mau. Ibu itu memukul-mukul pintu mobil, bahkan teriak-teriak. Sampai akhirnya Maman tidak tahan lagi. Mobil dihentikan, mereka turun, entah bagaimana, tapi kata Si Maman sempat juga Ibu itu menjambret dompet Maman. Dan Maman sempat menghantam tangan Si Ibu. Celakanya mereka itu ternyata ribut-ribut di depan kantor polisi. Segera saja Maman digelandang ke kantor polisi, tetapi Si Ibu sudah lenyap entah ke mana.”
            “Kok bisa jadi begitu Pak ceritanya.”
            “Ya itulah Suster, tapi Maman sudah bisa dibebaskan. Karena Pak Samsu percaya ke saya. Kata Maman mungkin anak itu hanya diberi obat tidur saja, sehingga ia memang tak bisa bangun.”
            Fajar, malang betul nasibmu Nak. Pastilah ibu itu bukan ibumu. Dan mungkin Fajar juga bukan namamu. Sudah berapa kali kamu diperlakukan seperti itu? Diminumi obat tiidur untuk mendapatkan uang. Apa yang akan terjadi pada dirimu kelak? Apa yang akan terjadi di balikmu Fajar?   
              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERJUMPAAN YANG TAK DIINGINKAN

💘💕💗 Yang kutakutkan adalah berjumpa dan kemudian berpisah. Rasa-rasanya tak mampu untuk melepaskanmu dan berpisah denganmu. hari-hari pen...