Lina tinggal di suatu desa yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kota. Kira-kira dua jam perjalanan naik motor. Dia adalah gadis yang sederhana, cerdas, dan tidak sombong. Selain itu dia juga berbakat dalam bidang ersa apapun. Ada banyak lelaki yang mengagumi kepribadiannya, karena sikapnya terlihat dewasa baik dalam berpikir, bertutur kata, dan bertindak. Tetapi sayangnya tidak ada seorang pun yang berhasil menjadi pacarnya. Bukan berarti dia mati rasa, namun belum ada orang yang tepat untuk dia terima sebagai sang sahabat dekat. Setiap kali ada orang yang mengungkapkan perasaan sejujurnya, dia hanya tersenyum dan tidak memberi jawaban yang pasti. Entah bagaimana ciri-ciri lelaki idaman hatinya. Lina hanya memendam seorang diri dan mungkin masih belum saatnya untuk diketahui oleh orang lain. Tiba saatnya dia menamatkan diri dari jenjang putih abu-abu, dan sekarang akan melanjutkan kuliah di kota. Tak mengherankan jika relasinya terhadap teman-teman sangat baik, karena dia sudah terbiasa dan dilatih untuk menghargai dan menghormati orang lain. Sebagaimana mestinya sering ia lakukan selama di kampung. Sehingga kebiasaan itu sudah melekat dalam dirinya. Tidak pernah terdengar kata-kata Lina yang menyakitkan hati. Dia selalu bersikap ramah dan sopan kepada siapa pun. Selama di kota, dia tinggal di asrama putri yang peraturannya cukup ketat. Baginya ini suatu hal yang biasa, sehingga ersama rasa takut dan ragu akan kedisiplinan.
Di antara temannya ternyata ada yang membenci dia, benci yang disebabkan oleh rasa iri terhadapnya. Mereka tidak suka dengan banyaknya bakat yang ia miliki. Jadi timbul kecemburuan dalam hati.
Dalam kebersamaan mereka, Lina tidak mengetahui bahwa ada yang membencinya karena bakat yang ia miliki. Malahan sebaliknya dia berpikir bahwa dirinya yang paling buruk di antara semuanya. Dia sadar akan kelemahan dirinya yang kurang bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Kadang-kadang kalimat yang diucapkan olehnya tidak dimengerti. Maklum saja, di kampungnya ersam sehari-hari menggunakan ersam Daerah. Sehingga Lina agak kaku dan vakum ketika berkomunikasi dengan orang lain.
Keberaniannya terhambat karena kosa kata bahasanya terbatas. “Seandainya saja ini di kampung. Pasti saya sudah mengungkapkan segala pendapat dan isi hati saya.” Bisiknya sendiri. “Betapa sedih dan malunya saya terhadap teman-teman yang gayanya sudah eksis dan serba bisa,” pikirnya lagi.
Anggapan Lina terhadap dirinya berbeda dengan pandangan teman-teman di sekelilingnya. Banyak dari mereka yang heran dan kagum dengan talentanya. Mereka tahu bahwa Lina terbatas dalam berbahasa Indonesia, tetapi aktif dalam melakukan suatu hal. “Kepribadian Lina tidak banyak berbicara tetapi banyak bertindak.” Tutur dari salah seorang teman asramanya.
Seiring berjalannya waktu dia baru tahu dan mengerti ternyata selama ini ada yang tidak suka dengan kehadirannya di asrama itu. Satu pesan di antara temannya mengungkapkan kejujuran tentang pandangan mereka terhadapnya. Dia tersenyum karena apa yang ia bayangkan tentang dirinya yang paling buruk tidak seperti penilaian teman-temannya. Dengan kejujuran mereka Lina tidak marah ataupun memusuhi. Malahan sebaliknya dia menerima dan mengajari. Serta berbagi talenta kepada mereka.
Dia sangat bersyukur kepada Tuhan karena rencananya sungguh indah dalam hidupnya. Keterbatasannya berbahasa Indonesia tidak menghalangi perkembangannya untuk terus belajar karena Lina murah hati dan mengakui kelemahan dirinya. Tuhan menganugerahkan berbagai macam talenta indah dalam dirinya.
@Masnidar Laia_2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar