Kini kami telah menyelesaikan masa postulan selama satu tahun. Sekarang kami akan melangkah lagi ke tahap berikutnya. Tentu banyak hal yang telah kami alami baik suka maupun duka. Namun karena rasa persaudaraan yang tinggi kami berdelapan mampu menjalani itu semua. Untuk memasuki tahap berikutnya yaitu ke tahap novis. Banyak hal yang telah kami siapkan. Misalnya: Jauh-jauh hari kami sudah me-ngukur habet. Kostum kleding yang paling utama. Kami telah mempersiapkan diri dengan baik dengan mengikuti retret selama lima hari yang dibawakan oleh Sr. M. Christina SFS. Selama retret kami semakin merasakan kasih Yesus lewat pengalaman perjalanan panggilan kami, juga lewat sesama. Setelah kami mempersiapkan diri dengan baik, kami mengajukan nama biara yang telah kami pilih untuk menjadi nama biara kami kepada Pembina kami. Setelah itu kami tinggal menunggu hari spesial yang kami nanti-nantikan.
Pada hari Senin pagi tepatnya
tanggal, 1 Februari 2021 kami mendapat tugas masing-masing dan yang paling
sibuk adalah petugas kapel serta panitia pesta penerimaan jubah biara. Pagi itu
aku sempat melirik ke kapel St. Fransiskus Biara Pusat, tepatnya di Bunut Suka-bumi.
Aku memperhatikan altar yang sangat bagus, dengan dekorasi yang unik, dan
rangkaian bunga mawar yang sangat indah dengan perpaduan dari beberapa warna.
Yang sangat mengagumkan lagi ketika aku melemparkan pandanganku ke atas. Bapak
Fajar bersama teman-temannya sibuk mema-sang kamera untuk live-streaming. Satu
kebanggaan besar bagiku, karena walaupun keluarga tidak sempat hadir karena
situasi yang tidak mendukung, maupun karena jarak yang jauh, namun Tuhan
menunjukkan jalan agar dalam situasi ini keluarga masih bisa menyaksikan hari
yang istimewa hari ini.
Dengan hati berbunga-bunga kami
berdelapan mempersiapkan diri untuk memulai hidup baru. Ketika selesai makan
siang kami langsung mandi karena pukul 14.00 kami harus sudah ada di ruang rias
dan yang akan mendandani kami yaitu Sr. M. Christina SFS, Sr. M. Karolina SFS,
Sr. M. Ludovika SFS, dan Sr. M. Clara SFS. Kami didandani semenarik mungkin
mulai dari rambut dikonde, muka dipolesi bedak lumayan tebalnya, dan busana
yang akan kami kenakan yaitu pakaian adat masing-masing. Ketika aku didandani
aku sempat berkata: “Kita ini seperti orang yang hendak bertunangan saja.”
Terus ada saudari yang menjawab: “Ya iyalah …, kita kan bertunangan dengan
seorang pangeran yang telah memanggil kita.” Aku sadar, benar juga. Hari ini
Tuhan Yesus bagaikan seorang pange-ran, dan kami berdelapan adalah permaisuri
yang akan menjadi milik-Nya. Uniknya pangeran akan bertunangan dengan delapan
permaisuri. Tetapi te-nang saja, kami berdelapan akan selalu damai dan
bersukacita karena Sang Pangeran maha adil. Dia tidak akan membeda-bedakan
dalam mengasihi kami. Cinta-Nya merata dan sungguh kami rasakan. Sehingga kami
tetap setia pada-Nya.
Selesai didandani dan menggunakan
kebaya putih se-mua serta menggunakan sarung adat masing-masing kami ber-delapan
bagaikan putri Solo. Apa lagi kulit Floresnya telah dipolesi dengan bedak
tambah lagi kebaya putih yang cerah, tidak apa-apa rambut kritingnya masih
nampak. Kan sebentar lagi akan ditutupi he … he … he …. Hari ini bukan hanya
kami yang ceria dan bahagia aku juga melihat kebahagiaan dirasakan oleh para
suster dan para saudari yang selalu mendukung dan mendoakan kami. Di zaman mi-lenial
sekarang suatu kebaha-giaan tidak akan lengkap jika tidak diabadikan dengan ber-foto-foto
sebagai kenangan. Maka sambil menunggu Perayaan Ekaristi mulai, kami
berfoto-foto dahulu. Baik foto bersama berdelapan, bersama para suster, maupun
sendiri-sendiri. Dengan berbagai gaya sampai kami kehabisan gaya. Dari tangan
terkatup seperti Bunda Maria, salam dua jari
ala Bapak Joko Widodo, gaya Malaysia, bahkan seorang heo ala Korea.
Setelah tiba waktunya untuk memulai
Perayaan Ekaristi Penerimaan jubah biara pukul 17.00, kami para postulan
bersiap-siap masuk kapel. Saat itu hatiku tak keruan antara bahagia dan grogi. Namun sebelumnya, kami beserta
para imam dan para suster yang mendampingi kami, berdoa da-hulu mohon rahmat
Tuhan agar semuanya berjalan dengan la-ncar. Kami mengikuti perarakan dari
depan kapel menuju ke depan altar. Sepanjang perara-kan aku menyerahkan diriku
kepada Tuhan. “Tuhan, inillah aku, pakailah aku menjadi alat-Mu.” Aku sangat
terharu apalagi dengan lagu pengantar yang sangat merdu. Kami mengikuti
Perayaan Ekaristi dengan penuh khidmat. Injil dari Markus 5: 1-20, menjadi
bahan refleksi bagiku. Kotbah dari Pastor Pa-roki Sukabumi sangat menyentuh
hatiku.
Pertama, dari segi pakaian. Selain
untuk melindungi tubuh, pakaian yang kita kenakan juga dapat menjadi suatu ciri
khas seseorang. Dari cara berpakaian kita dapat me-ngenal seseorang. Jadi
pakaian juga dapat menjadi identitas seseorang. Orang dapat me-ngenal kita
sebagai religius pertama dari segi pakaian dan juga sikap kita. Maka kita tidak
boleh menodai atau menajiskan diri kita.
Kedua, dalam hidup berkomunitas
harus mau di-bentuk dan dibina serta harus mampu menciptakan kedamaian dalam
hidup bersama. Tidak boleh kehadiranku menjadi beban atau kesulitan bagi orang
lain. Juga bacaan dari ( Ibrani 11: 32-40 ) saya
merefleksikan bahwa, aku harus mampu membiarkan diri disiksa dalam arti mampu
menerima segala tantangan atau risiko yang akan
saya alami agar saya mampu untuk bangkit dari segala kesalahan dan kelemahanku.
Dari segala proses Misa yang kami
jalani yang sangat mengesankan bagi kami berde-lapan adalah upacara penerima-an
ke dalam Novisiat. Ada perasaan terharu dan bahagia yang kami alami. Terharu
karena mulai sekarang kami harus benar -benar meninggalkan orangtua dan
segalanya. Bagi saya ini merupakan suatu risiko dan tantangan yang harus
kuhadapi. Namun aku juga sangat bahagia dan bersyukur karena aku mampu melewati
segala suka dan duka selama satu tahun di postulat hingga hari ini aku akan
mengenakan jubah biara dan memakai nama baru sebagai simbol pertobatan saya.
Ketika Romo telah mem-berkati
dan memberikan jubah, kerudung, buku doa, buku regula, lilin, dan salib, kami
berdelapan mohon pamit untuk menanggalkan pakaian duniawi kami dan mengganti
dengan pakaian surgawi (jubah biara). Ini pertanda kami sudah resmi menjadi
seorang permaisuri dari Sang Pangeran yang kami impikan. Tentu kebahagiaan dan
sukacita yang kami rasakan bukan hanya kami para suster dan keluarga yang
menyaksikan. Pesta hari ini pun membuat kami bersukacita dan terharu. Inilah
saat yang ditunggu-tunggu. Kami berdelapan telah mengenakan jubah biara dan
berlutut di hadapan Pastor untuk meminta agar diberi nama biara.
Banyak
komentar dari para suster yang hadir apalagi nama kami hampir mirip. Namun kami
tetap konsentrasi. Setelah mendapat nama baru aku menyadari, aku bukan Kresen
yang dulu lagi. Mulai saat ini kami berdelapan akan memulai hidup baru. Seperti
dalam kata sambutan dari Sr. M. Vincentia SFS selaku Pelayan Umum Persaudaraan,
harus mampu mengubah sikap, tutur kata yang negatif, atau yang tidak mendukung
hidup panggilan kami. Dalam kata sambutan dari Sr. Skolastika perwakilan dari
pestawati yaitu, kami akan tetap membuka mata, telinga, dan hati kami, pada
bimbingan Tuhan lewat para suster dan para saudari dan sesama yang ada di
sekitar kami. Kami juga menyadari bahwa ini adalah awal dari perjuangan kami.
Maka kami masih mohon doa dan dukungan dari para suster dan para saudari agar
kami berdelapan: Sr. M. Diana SFS, Sr. M. Yohanita SFS, Sr. M. Vianita SFS, Sr.
M. Teresa SFS, Sr. M. Skolastika SFS, Sr. M. Fransita SFS, Sr. M. Hyasinta SFS,
dan Sr. M. Yohani SFS tetap setia sampai akhir. Kami juga mengucap syukur dan
terima kasih atas segala doa dan dukungan dari para suster dan saudara-saudari
yang selalu ada untuk kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar