Saat kau pergi ... pergi ... menjauh, dan menjauh dari pandanganku, pandangannya, dan pandangan mereka, hati dan diri ini tak mampu mengucapkan kata-kata indah selain ucapan selamat jalan dan tetesan air mata. Wajah dan bayanganmu selalu menemani setiap perjalanan hidupku mulai dari kepergian dan keberangkatanmu.
Hiruk pikuk kehidupan akhirnya memunculkan aneka ragam pesona kehidupan manusia. Setiap saat aku selalu berusaha menepis bayanganmu agar aku bisa bebas, tenang , bahagia, dan ceria menjalani panggilan hidupku yang penuh dengan kemisterian Ilahi.
Kurang lebih dua setengah tahun kita hidup bersama, baik itu di asrama, maupun di sekolah. Suka dan duka kita lalui bersama, meskipun sering ada ketidakcocokkan diantara kita. Engkau selalu diam bila ada masalah, sehingga apa yang sebenarnya terjadi aku tidak mengetahui dan memahami sedikitpun. Ternyata engkau diam itu menyimpan segala perasaan diantaranya sakit hati , sehingga engkau tak mampu meneruskan hidup kebersamaan dan persaudaraan kita.
Ketika engkau menyatakan keinginanmu: "Rollys, aku ingin pergi dari sini. Dari hidup kebersamaan dan persaudaraan kita selama ini. Aku tak sanggup lagi hidup di sini meskipun aku sangat mencintai, menyayangimu, mereka, dan Dia. Aku harus berani dan rela pergi dari sini. Harus ... !!!". Mendengar kata-kata itu aku jadi diam seribu bahasa. Semua hening. keadaan dan situasi di sekitarpun membisu. Mungkin situasi dan kondisi sekitar mengetahui dan memahami apa yang kita rasakan dan alami khususnya aku. Mungkin mereka pun sedih, kecewa, ya mereka diam dan bergeming.
Lama kemudian kau membuka keheningan dan kebisuan: " Ayo Roy...., tolong beri tanggapan atas apa yang telah kuucapkan dan kuputuskan ini". Dengan tatapan kosong dan tanpa mengedipkan mata, aku menatapnya. Tak terasa air mata mengalir di kedua belah pipiku. Dengan menarik napas yang cukup panjang dan lama, aku mencoba memberi tanggapan yang mungkin tak masuk akal dan berguna bagi dia. " Yahhhh... mau bagaimana lagi, kalau itu memang keputusanmu. Tapi kalau menurutku coba kamu pikirkan lagi. Apakah itu keputusanmu yang benar dan tepat, ataukah karena emosimu yang mungkin melanda hidupmu saat ini. Aku tak bisa mengatakan bahwa ya atau tidak. karena kamu sendirilah yang akan menjalani hidupmu."
Jawabnya: " Terima kasih. Aku mencoba untuk berfikir dan merefleksikannya lagi." Tak kuduga pertemuan saat itu adalah pertemuan terkahir kali dalam membicarakan masalahnya. Suatu ketika, di suatu sore yang indah tetapi juga suram, ada pengumuman dari pemimpin kelompok bahwa kamu telah memutuskan untuk mengundurkan diri dari persaudaraan yang selama ini kita jalani bersama. Kaget, bingung, sedih, bercampu menjadi satu. Aku hanya sempat mengatakan: " Ha ... kamu benar-benar mengundurkan diri? Apa aku tak salah dengar?" kamu hanya diam, tetapi wajahmu memancarkan sinar terang penuh kebahagaiaan dan kegembiraan.
Mulai saat iru aku melihat keadaanmu begitu berubah 100%. Sebab selama ini sebelum memutuskan untuk mengundurkan diri-keadaanmu memang kurang bahagia. Ternyata keputusanmu itu benar dan tepat. Aku dan para saudari yang lain boleh menangisi, meratapi keputusanmu itu, tetapi kamu sendiri tetap bahagia tanpa ada pancaran kesedihan dari raut wajahmu. Akhirnya aku hanya mengucapkan: " Selamat Jalan. Selamat menempuh hidup baru. semoga kita tetap bersahabat dan saling mendoakan. Walaupun terpisah waktu, jarak, dan ruang. Semoga kamu bahagia bersama Dia, dia, dan nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar