Selesai cuci piring sesudah makan
siang saya memandang ke arah jendela. Di
depan jendela itu ada sebatang pohon Trompet. Beberapa waktu lalu pohon itu
telah gundul. Tapi sekarang daun-daun sudah menghijau bahkan sudah mulai
berbunga lagi. Kemudian saya melihat ke arah bawah. Ruang makan dan tempat cuci
piring ini memang letaknya agak tinggi, jadi kebun di sampingnya ada agak jauh
di bawah. Oh … apa itu? Kucing sakit? Kulihat seekor kucing berbulu abu-abu
berbaring di rumputan di bawah pohon Trompet. Wajahnya penuh borok, juga
tubuhnya yang nampak kurus. Ia terus menjilat-jilat badannya, mungkin itu
menggaruk-garuk tubuhnya yang gatal.
Pikiranku langsung melayang ke
cerita Alia, yang kelaparan di depan pintu orang kaya yang berkelimpahan
makanannya. Aku ambil sedikit nasi, sedikit daging, kuremas-remas di atas
kertas lalu kubawa ke kebun dan kudekatkan ke mulut kucing itu. “Makanlah Alia, semoga badanmu menjadi sedikit segar dan kuat. Semoga kamu nanti bisa
sembuh,” kataku dalam hati. Aku senang ketika kucing itu masih bisa makan. Kutinggalkan
dia dengan harapan besok dia ada lagi di situ, dan aku akan memberinya makan.
Aku memang mudah terharu kalau
mendengar cerita tentang kelaparan. Melihat kucing yang kuperkirakan kelapanpun
sudah membuat aku risau. Apakah ini karena pengaruh cerita ibuku? Ibu pernah cerita
padaku waktu umurku hampir genap dua tahun, aku terpaksa diajak mengungsi. Waktu
itu katanya di Kota Dili maupun Atambua terjadi pertempuran-pertempuran . Dan itu
berimbas pada keamanan dan keselamat penduduk. Baik penduduk dalam kota itu
sendiri, maupun kami yang tinggal di desa-desa yang sebenarnya sudah agak jauh
dari kota. Kami sekeluarga, ayah, ibu, kakak, dan aku, diajak mengungsi ke
pegunungan cukup jauh di sebelah selatan desa kami. Kata ibu, ini karena ayah
tidak mau diajak berperang, maka kami sekeluarga bersembunyi.
Memang kami bisa menumpang di rumah
penduduk yang berbaik hati memberi tumpangan. Tapi makanan tentu saja harus
mencari sendiri. Semua orang kesulitan untuk mendapatkan makanan di tempat itu.
Lalu kata ibu lagi, bila keadaan diperkirakan aman, tidak terdengar bunyi
tembakan, tidak terdengar bunyi meriam, ayah pulang ke rumah kakek di desa untuk minta makanan, apa saja.
Beras adalah kemewahan, singkong, ubi, atau jagung, umbi-umbian apa saja kami
terima dengan penuh syukur. Pernah ayah pulang dari rumah kakek hanya membawa
biji-biji asam. Sudah tidak ada lagi bahan makanan lain. Ibu merebus biji-biji
asam itu sambil berurai air mata, dan aku yang mendengar ceritanya ikut
berkaca-kaca.
Ibu katanya bertambah sedih karena
aku menjadi anak yang gampang sekali menangis, kurus, dan amat penakut. Tak mau
bergaul dengan orang-orang baru, suka menangis tanpa sebab. Tapi ibu
memperkirakan anaknya kelaparan. Untunglah kakakku keadaannya baik-baik saja
sehingga bisa menghibur hati ibu. Apakah ini sepenggal kisah masa kecilku yang
berdampak sepanjang hidupku?
Memang di biara ini cukup banyak
kucing, padahal tidak seorang pun dari kami sengaja memeliharanya. Malahan
kucing-kucing itu sebenarnya menjengkelkan. Apalagi kalau ada yang berlarian di
atas eternit kemudian atap itu jebol. Tapi bila siang hari kami makan bersama
di ruang makan ada saja kucing-kucing mendekam dekat tempat sampah, kadang sambil mengeluarkan
bunyi meong yang bagiku seperti memohon belas kasihan. Kalau sudah begitu
pastilah aku langsung membayangkan Lazarus yang berbaring dekat pintu rumah
orang kaya dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja.
Kadang sebentar aku mendekati
mereka. Biasanya mereka menengadahkan muka, lalu aku melihat matanya yang
bersemu hijau. Mata itu bagiku adalah mata yang memohon belas kasih. Bila aku
berjalan ke tempat biasanya aku menaruh kepala-kepala ikan, mereka segera
dengan sigap mengikutiku, sepertinya mereka sudah tahu tempat yang aku tuju.
Dan aku merasa senang. Aku membayangkan ayah datang dari rumah kakek membawa
beras putih, lalu ibu dengan sukacita menanak nasi dan memberi makan lima anaknya.
Waktu aku sudah sekolah di SMP bila aku berangkat ke sekolah pada hari Senin
pagi-pagi benar dengan naik sepeda, ibu suka menyiapkan sepiring nasi panas dan
telur goreng. Ya, karena aku sekolah di kota dan tiap sabtu pulang kampung.
Mestinya Minggu sore aku sudah berangkat lagi ke kota tapi kalau Minggu sore
itu hujan atau mendung tebal, aku memilih berangkat ke kota Senin pagi. Apakah
saat menanak nasi ibu ingat ketika harus merebus biji asam karena tak ada lagi
makanan lain, entahlah. Sekarang ini menurutku aku sangat mudah bersyukur atas
makanan yang tersedia di meja ruang makan karena mengingat lagi biji asam
rebus.
Esok harinya aku melihat lagi
Alia berbaring di atas rumput di bawah jendela di bawah pohon Trompet.
Sesekali dia masih menjilat-jilat tubuhnya tapi sudah tidak sesigap kemarin.
Apakah gatalnya sudah mulai berkurang, atau jangan-jangan dia sudah kehabisan
tenaga untuk menggaruk. Aku memberi makan lagi padanya. Dia makan pelan-pelan
dan aku senang melihatnya. Tapi apakah ini karena dia sudah mendapat makan di
tempat lain, ataukah karena dia sudah hampir kehabisan tenaga untuk sekedar
bisa makan, Alia, semoga besok keadaanmu semakin membaik, selagi masih sakit
datanglah ke sini setiap hari dan aku akan memberimu makan, kataku dalam hati.
Pernah suatu sore yang cerah aku
melihat di halaman biara ada seekor induk kucing dengan tiga anaknya yang masih
kecil-kecil. Lagi-lagi aku membayangkan ibu dengan anak-anaknya. Aku mendekat
hanya sekedar mau ikut dengan kebahagiaan mereka. Tapi ketiga kucing kecil itu
segera lari ke gorong-gorong yang sudah berlubang untuk bersembunyi. Demikian
juga induk kucing itu segera pergi mengikuti anak-anaknya. Ah seperti diriku
dulu. Bila sesekali aku mau bermain di halaman rumah pengungsian, begitu ada
orang lain datang, aku akan segera lari tertatih-tatih mencari ibuku.
Sudah beberapa hari ini aku tidak
melihat Alia berbaring di atas rumput di bawah jendela di bawah pohon
Trompet. Aku berharap dia sudah sembuh dan bisa mencari makan di tempat lain.
Aku bertanya kepada seorang suster.
“Suster, apakah Alia sudah
sembuh?” Suster itu tahu siapa yang kumaksudkan dengan Alia.
“O …, dia sudah meninggal dunia dan
sudah dimakamkan.” Segera terbayang olehku Alia yang dibawa oleh
malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. Aku menengadah melihat langit. Mungkin Aliaku sekarang ini sudah berbaur bersama awan putih yang berarak di langit
biru itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar