Selasa, 21 Februari 2017

ALIA di Bawah Jendela

Hasil gambar untuk orang melihat dari jendela


            Selesai cuci piring sesudah makan siang saya memandang ke arah  jendela. Di depan jendela itu ada sebatang pohon Trompet. Beberapa waktu lalu pohon itu telah gundul. Tapi sekarang daun-daun sudah menghijau bahkan sudah mulai berbunga lagi. Kemudian saya melihat ke arah bawah. Ruang makan dan tempat cuci piring ini memang letaknya agak tinggi, jadi kebun di sampingnya ada agak jauh di bawah. Oh … apa itu? Kucing sakit? Kulihat seekor kucing berbulu abu-abu berbaring di rumputan di bawah pohon Trompet. Wajahnya penuh borok, juga tubuhnya yang nampak kurus. Ia terus menjilat-jilat badannya, mungkin itu menggaruk-garuk tubuhnya yang gatal.
            Pikiranku langsung melayang ke cerita Alia, yang kelaparan di depan pintu orang kaya yang berkelimpahan makanannya. Aku ambil sedikit nasi, sedikit daging, kuremas-remas di atas kertas lalu kubawa ke kebun dan kudekatkan ke mulut kucing itu. “Makanlah Alia, semoga badanmu menjadi sedikit segar dan kuat. Semoga kamu nanti bisa sembuh,” kataku dalam hati. Aku senang ketika kucing itu masih bisa makan. Kutinggalkan dia dengan harapan besok dia ada lagi di situ, dan aku akan memberinya makan.
            Aku memang mudah terharu kalau mendengar cerita tentang kelaparan. Melihat kucing yang kuperkirakan kelapanpun sudah membuat aku risau. Apakah ini karena pengaruh cerita ibuku? Ibu pernah cerita padaku waktu umurku hampir genap dua tahun, aku terpaksa diajak mengungsi. Waktu itu katanya di Kota Dili maupun Atambua terjadi pertempuran-pertempuran . Dan itu berimbas pada keamanan dan keselamat penduduk. Baik penduduk dalam kota itu sendiri, maupun kami yang tinggal di desa-desa yang sebenarnya sudah agak jauh dari kota. Kami sekeluarga, ayah, ibu, kakak, dan aku, diajak mengungsi ke pegunungan cukup jauh di sebelah selatan desa kami. Kata ibu, ini karena ayah tidak mau diajak berperang, maka kami sekeluarga bersembunyi.
            Memang kami bisa menumpang di rumah penduduk yang berbaik hati memberi tumpangan. Tapi makanan tentu saja harus mencari sendiri. Semua orang kesulitan untuk mendapatkan makanan di tempat itu. Lalu kata ibu lagi, bila keadaan diperkirakan aman, tidak terdengar bunyi tembakan, tidak terdengar bunyi meriam, ayah pulang ke rumah  kakek di desa untuk minta makanan, apa saja. Beras adalah kemewahan, singkong, ubi, atau jagung, umbi-umbian apa saja kami terima dengan penuh syukur. Pernah ayah pulang dari rumah kakek hanya membawa biji-biji asam. Sudah tidak ada lagi bahan makanan lain. Ibu merebus biji-biji asam itu sambil berurai air mata, dan aku yang mendengar ceritanya ikut berkaca-kaca.
            Ibu katanya bertambah sedih karena aku menjadi anak yang gampang sekali menangis, kurus, dan amat penakut. Tak mau bergaul dengan orang-orang baru, suka menangis tanpa sebab. Tapi ibu memperkirakan anaknya kelaparan. Untunglah kakakku keadaannya baik-baik saja sehingga bisa menghibur hati ibu. Apakah ini sepenggal kisah masa kecilku yang berdampak sepanjang hidupku?
            Memang di biara ini cukup banyak kucing, padahal tidak seorang pun dari kami sengaja memeliharanya. Malahan kucing-kucing itu sebenarnya menjengkelkan. Apalagi kalau ada yang berlarian di atas eternit kemudian atap itu jebol. Tapi bila siang hari kami makan bersama di ruang makan ada saja kucing-kucing mendekam dekat  tempat sampah, kadang sambil mengeluarkan bunyi meong yang bagiku seperti memohon belas kasihan. Kalau sudah begitu pastilah aku langsung membayangkan Lazarus yang berbaring dekat pintu rumah orang kaya dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja.
            Kadang sebentar aku mendekati mereka. Biasanya mereka menengadahkan muka, lalu aku melihat matanya yang bersemu hijau. Mata itu bagiku adalah mata yang memohon belas kasih. Bila aku berjalan ke tempat biasanya aku menaruh kepala-kepala ikan, mereka segera dengan sigap mengikutiku, sepertinya mereka sudah tahu tempat yang aku tuju. Dan aku merasa senang. Aku membayangkan ayah datang dari rumah kakek membawa beras putih, lalu ibu dengan sukacita menanak nasi dan memberi makan lima anaknya.
            Waktu aku sudah sekolah di SMP  bila aku berangkat ke sekolah pada hari Senin pagi-pagi benar dengan naik sepeda, ibu suka menyiapkan sepiring nasi panas dan telur goreng. Ya, karena aku sekolah di kota dan tiap sabtu pulang kampung. Mestinya Minggu sore aku sudah berangkat lagi ke kota tapi kalau Minggu sore itu hujan atau mendung tebal, aku memilih berangkat ke kota Senin pagi. Apakah saat menanak nasi ibu ingat ketika harus merebus biji asam karena tak ada lagi makanan lain, entahlah. Sekarang ini menurutku aku sangat mudah bersyukur atas makanan yang tersedia di meja ruang makan karena mengingat lagi biji asam rebus.
            Esok harinya aku melihat lagi Alia berbaring di atas rumput di bawah jendela di bawah pohon Trompet. Sesekali dia masih menjilat-jilat tubuhnya tapi sudah tidak sesigap kemarin. Apakah gatalnya sudah mulai berkurang, atau jangan-jangan dia sudah kehabisan tenaga untuk menggaruk. Aku memberi makan lagi padanya. Dia makan pelan-pelan dan aku senang melihatnya. Tapi apakah ini karena dia sudah mendapat makan di tempat lain, ataukah karena dia sudah hampir kehabisan tenaga untuk sekedar bisa makan, Alia, semoga besok keadaanmu semakin membaik, selagi masih sakit datanglah ke sini setiap hari dan aku akan memberimu makan, kataku dalam hati.
            Pernah suatu sore yang cerah aku melihat di halaman biara ada seekor induk kucing dengan tiga anaknya yang masih kecil-kecil. Lagi-lagi aku membayangkan ibu dengan anak-anaknya. Aku mendekat hanya sekedar mau ikut dengan kebahagiaan mereka. Tapi ketiga kucing kecil itu segera lari ke gorong-gorong yang sudah berlubang untuk bersembunyi. Demikian juga induk kucing itu segera pergi mengikuti anak-anaknya. Ah seperti diriku dulu. Bila sesekali aku mau bermain di halaman rumah pengungsian, begitu ada orang lain datang, aku akan segera lari tertatih-tatih mencari ibuku.
            Sudah beberapa hari ini aku tidak melihat Alia berbaring di atas rumput di bawah jendela di bawah pohon Trompet. Aku berharap dia sudah sembuh dan bisa mencari makan di tempat lain. Aku bertanya kepada seorang suster.
            “Suster, apakah Alia sudah sembuh?” Suster itu tahu siapa yang kumaksudkan dengan Alia.

            “O …, dia sudah meninggal dunia dan sudah dimakamkan.” Segera terbayang olehku Alia yang dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. Aku menengadah melihat langit. Mungkin Aliaku sekarang ini sudah berbaur bersama awan putih yang berarak di langit biru itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERJUMPAAN YANG TAK DIINGINKAN

💘💕💗 Yang kutakutkan adalah berjumpa dan kemudian berpisah. Rasa-rasanya tak mampu untuk melepaskanmu dan berpisah denganmu. hari-hari pen...